Makalah HAM dan Gender

HAM DAN GENDER


MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas dalam mata kuliah Kewarganegaraan
Disusun Oleh Kelompok 6 IH :
1. Anna Mukti W – 13340064
2. Aghisna Nurfahmi Fauzia – 13340032
3. M. Habibi Pasi – 13340018
4. Purnomo – 13340074

Dosen :
Dra. Hj. Ermi Suhasti S., MSI

PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNANKALIJAGA YOGYAKARTA
2014



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”HAM DAN GENDER”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah berperan aktif membantu menyelesaikan makalah ini.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.


Yogyakarta, Maret 2014

KELOMPOK 6
  


BAB I
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
                                        
A. Pengertian dan Hakikat HAM
            Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asai, dan manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia.[1]
            Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut maka mustahil kita dapat hidup sebagai manusia.
            John Lock menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang maha pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut Hak Asasi Manusia. Ia adalah hak dasar dari setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang maha esa bukan pemberian manusia ataupun lembaga kekuasaan. Setiap orang berhak untuk mempertahankan hak asasinya masing-masing agar tidak diganggu oleh orang lain.[2]

B. Sejarah dan Bentuk-bentuk HAM
            Kalangan ahli HAM menyatakan bahwa konsep ini bermula dan berkembang di Eropa baru kemudian merambah ke Negara-negara lain. Untuk melacak embrio dan sejarah perkembangan konsep HAM, perlu dijelaskan sejarah Hak Asasi Manusia. Meskipun HAM baru dideklarasikan pada tahun 1948, namun embrionya sudah ada mulai sejak zaman sebelum masehi. Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindugan dan jaminan diakuinya Hak Asasi Manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan social control kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.[3] Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
Magna Charta
            Pada awal abad ke-XII, Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan Raja John yang sewenang-wenang tersebut mengakibatkan ketidakpuasan para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Piagam ini dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya adalah memuat pembatasan kekuasaan Raja dan Hak Asasi Manusia lebih penting daripada kedaulatan Raja.[4]
            Namun yang paling terkenal dalam sejarah HAM di Inggris adalah Bill of Rights. Ini adalah undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris. Bill of Rights dipandang oleh banyak pengamat sebagai Undang-undang yang menjamin Hak Asasi Manusia karena didalamnya memuat persamaan manusia didepan hukum. Undang-undang tersebut juga sebagai permulaan pemikiran Negara Hukum.[5]
            Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk social ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi Hak Asasi Manusia (Commission of Human Rights). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru dua tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 negara yang terwakil dalam siding umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan dua Negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.[6]
            Adapun pembagian bidang, jenis dan macam Hak Asasi Manusia yaitu diantaranya:
·         Hak asasi pribadi (Personal Rights)
·         Hak asasi politik (Political Rights)
·         Hak asasi ekonomi (Property Rights)
·         Hak asasi peradilan (Procedural Rights)
·         Hak asasi social budaya (Social Culture Rights)

C. Nilai-nilai HAM
Nilai-nilai HAM berlaku di semua tempat. Dengan demikian pemahaman dan pengakuan terhadap nilai- nilai HAM berlaku sama dan universal bagi semua
bangsa dan Negara. Dalam kaitannya dengan hal ini, ada dua pandangan dalam melihat relativisme nilai-nilai HAM yaitu strong relativist dan weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa nilai-nilai HAM dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedangkan universalitas nilai HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang didasari oleh budaya local atau lingkungan yang spesifik. Berdasarkan pandangan ini diakuinya adanya nilai-nilai HAM yang bersifat particular dan universal. Sementara Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan sulit dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Jadi, hanya mengakui nilai-nilai Hak Asasi Manusia universal.[7]

D. HAM dalam Tinjauan Islam
            Islam adalah agama yang sempurna, karena di dalam ajarannya sudah tercakup semua tuntunan ideal bagi kehidupan manusia di dunia agar selamat dan bahagia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Meskipun istilah HAM belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi, namun prinsip-prinsip penghormatan dan penghargaan pada manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas.[8]
            Manusia adalah makhluk yang bermartabat dan harus dihormati tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, jenis gender, dan ikatan primordial lainnya. Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah menjaga kelangsungan hidupnya, nyawanya tidak boleh dihilangkan (Q.S An-Naml [27]: 33; al-Maidah [5]: 32), juga fisik dan psikisnya tidak boleh disakiti untuk alasan apapun (Q.S al-Maidah [5]: 45). Semua manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan tanpa pembedaan.[9]          

E. HAM dalam Perundang-undangan
            Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional, dan sebelum declaration of human right ada, Indonesia telah dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap perlindungan dan pemajuan HAM sebagaimana dinyatakan dalam mukaddimah UUD 1945 yang berbunyi: “ Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[10] Baru setelah 54 tahun merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang tentang HAM, yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal.

F. Pelanggaran dan Pengadilan HAM
            Pelanggaran HAM dikelompokkan menjadi dua, yaitu pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Ada pandangan bahwa apa yang dianggap sebagai pelanggaran HAM yang berat adalah sesuatu yang langsung mengancam kehidupan atau integritas fisik seseorang. Ada kualifikasi yang menyatakan suatu pelanggaran HAM masuk kategori berat atau bukan, didasarkan juga pada sifat kejahatan, yaitu sistematis dan meluas. Sistemastis dikonstruksikan sebagai suatu kebijakan atau rangkaian tindakan yang telah direncanakan. Sementara itu, meluas menunjuk pada akibat tindakan yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan yang parah secara luas.[11] Pada saat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mulai berlaku, dibentuklah Pengadilan HAM di beberapa daerah yang daerah hukumnya berada pada Pengadilan Negeri.[12]
BAB II
GENDER

A. Konsep Gender
    Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia secara sosial budaya dan fisik biologis.[13] Namun, selain R. Stoller, pada tahun 1972 Ann Oakley mengutarakan pendapatnya dalam sebuah buku yang mengatakan gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.[14]
       Jika kita melihat tentang perbedaan gender yang terjadi saat ini maka akan muncul beberapa masalah yang diakibatkan oleh gender dan  lebih mengarah bagi para kaum hawa. Masalah-masalah yang muncul akibat gender bagi para kaum wanita antara lain adalah:
a.                   Marginalisasi
Marginalisasi adalah suatu proses yang mengakibatkan kemiskinan. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor diantaranya adalah bencana alam, konflik bersenjata penggusuran atau proses eksploitasi. Dan dalam masalah ini pengaruh terhadap kaum perempuan didominasi karena faktor gender.
b.         Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai akibat dari pandangan gender terhadap kaum perempuan. Saat ini masyarakat selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki, akibatnya akses dan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang pembangunan terbatas.
c.                   Stereotipe
Suatu pelabelan/ penandaan negatif terhadap kaum perempuan oleh masyarakat yang selalu membuat pihak perempaun selalu dirugikan. Dampak dari stereotipe itu sendiri diantaranya adalah menyulitkan, membatasi, memiskinkan dan juga merugikan para kaum perempuan.
d.                  Violence ( Kekerasn)
Violence adalah invasi atau serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Violence terhadap perempuan kerap terjadi karena stereotipe gender. Pada dasarnya hal ini dapat terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan dalam masyarakat.
e.                   Beban ganda
Beban ganda adalah suatu pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan salah satu pihak saja.

B. Isu Gender Dalam Islam
Didalam agama Islam sendiri juga terjadi beberapa masalah mengenai gender itu sendiri. Ketimpangan sosial-budaya antara laki-laki dan perempuan masih sering dipertahankan dengan dalili-dalil agama. Dalil-dalil agama sering kali dijadikan sebagai dalih untuk menolak kesetaraan gender, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (publik-domestik).
Berikut ini dipaparkan beberapa prinsip kesetaraan gender dalam Islam yang seharusnya dilihat:
1. Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Hamba Allah
Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, laki-laki dan perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai kadar pengabdiannya, sebagaimana dinyatakan  surat  An-Nahl/16:97, sbb:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
2. Laki-Laki Dan Perempuan Sebagai Khalifah di Muka Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-An’am/6:165, sbb:
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
3. Laki-Laki Dan Perempuan Menerima Perjanjian Allah
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian dari Tuhan. Sebelum anak manusia keluar dari rahim ibunya, terlebih dahulu harus menerima perjanjian dari Allah dan berikrar akan keberadaan-Nya sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-A’raf/7:172, sbb:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
4. Laki-Laki Dan Perempuan Sama-Sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang meraih prestasi maksimum dimiliki setiap laki-laki maupun perempuan tanpa ada pembedaan. Islam menawarkan konsep kesetaraan gender yang ideal dengan memberi ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karir profesional tidak harus dimonopoli salah satu jenis kelamin, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali-Imran/3:195, sbb:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.

C. Pendidikan Berkeadilan Gender
    Ada beberapa fungsi dan tujuan  mempelajari gender. Diantaranya adalah berfungsi untuk menurunkan atau mentransformasikan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang kedua juga dapat berfungsi untuk mengubah perilaku ke arah yang lebih baik. Dan yang selanjutnya dengan mempelajari gender seharusnya kita dapat berfikir bahwa sebernarnya antara orang-orang yang maskulin dan yang feminim itu memiliki potensi SDM yang sama.
    Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa dengan mempelajari gender maka kita akan menjadi lebih mengerti secara detail tentang keadilan gender dan bagaimana batas-batasan memebedakan seorang laki-laki dan perempuan dalam hak asasi manusia.

D. Isu Gender dalam HAM
    Hingga saat ini banyak masyarakat yang menggap Islam adalah agama yang selalu meletakkan perempuan dibawah laki-laki. Padahal jika melihat islam secara historis dan juga melihat asbabul nuzul dari ayat-ayat Al-Quran, maka kita akan paham ayat-ayat Al-Quran diturunkan selalu dengan sebuah alasan sehingga tidak ada pihak yang saling menyalahkan suatu pemikiran tertentu.
    Salah satu contohnya mengenai Hak Waris. Dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa’ ayat 11 tertulis “Allah mensyariatkan kepadamu tentang (pembagian harta warisan) bagi anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah dua dan bagian perempuan satu”. Jika kita melihat disaat peradaban Islam muncul, anak perempuan adalah suatu hal yang tak pernah mereka inginkan. Bahkan mengubur hidup-hidup bayi perembuan adalah hal yang wajar. Jadi memberi seorang anak perempuan adalah dianggap sebagai suatu hal yang sangat adil saat itu.[15]
    Walaupun sebenarnya surat An-Nisa’ 11 adalah sebuah ukuran batas maksimal dan minimal sebuah pembagian waris itu sendiri. Karena apa? Sebenarnya tentang pemberian waris sendiri sudah dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 7 “Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. Dari sini sudah dapat terlihat bahwa dalam Al-Quran udah dijelaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan sama, hanya para masyarakat banyak yang salah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tersebut.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Jadi, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut maka mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Sedangkan gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Khoirul, 2011, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk Perguruan   
Tinggi.  Yogyakart: Inti Media.
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti Kebijakan Publik Pro Gender. Surakarta: LPP UNS dan UNS
            Press.
El-Muhtaj, Majda, 2002,  Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD
1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mufidah, 2010,  Isu-isu Gender Kontenporer dalam Hukum Keluarga. Malang: UIN-Maliki
Press.
Mulia, Musdah, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi. Yogyakarta:
            Naufan Pustaka.
Marzuki, Suparman, 2012, Pengadilan HAM di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Nugroho, Riant, 2011, Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia.
            Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darpawan, Pengadilan Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Umum),
tanggal 16 Feb 2014 pukul 06.30.




[1] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005),   hlm. 1.
[2] Khoirul Anam, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Inti Media, 2011), hlm. 182-183.
[3] Ibid, hlm. 185.
[4] Ibid, hlm. 186.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Diakses dari http://www.sarjanaku.com/2010/10/nilai-nilai-hak-asasi-manusia-ham.html?m=1, pada tanggal 16 Feb 2014 pukul 06.30.
[8] Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hlm. 7-9.
[9] Ibid, hlm 9-10.
[10] Ibid, hlm. 23.
[11] Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 39.              
[12] Darpawan, Pengadilan Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Umum), http://darpawan.wordpress.com/2009/05/08/pengadilan-hak-asasi-manusia-suatu-tinjauan-umum/, Diakses 17 Februari 2014, pukul 11.02.
[13] Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 2.
[14] Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, KebijakanPublik Pro Gender (Surakarta: LPP UNS dan UNS Pess, 2009), hlm. 19-20.
[15] Mufidah, Isu-isu Gender Kontenporer dalam Hukum Keluarga, (Malang: UIN-Maliki Press. 2010), hlm. 164-165.

Comments

Gunawan Amall said…
izin share yah gan :)